News

  • Bencana yang akan mengganggu ketenangan masyarakat tergantung pada wilayah masing-masing. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pesisir rentan dengan gempa tektonik, untuk masyarakat yang berdekatan dengan sungai rawan longsor dan banjir, sedang untuk tinggal di daerah pegunungan cenderung rawan gempa vulkanik, intinya masyarakat juga harus mengetahui gejala-gejala awal bencana terjadi. Kalau dia tinggal di wilayah pegunungan, ya harus waspada dengan getaran-getaran kecil. Juga demikian dengan yang tinggal di kawasan dekat sungai. Bila hujan deras turun selama 3 hari berturut-turut, masyarakat harus waspada akan banjir dan bersiap untuk mengungsi atau melakukan tindakan awal lainnya. (HIMBAUAN KABAN BPBD DONGGALA, H.SUDARMAN KASIM.S.Sos)
  • INFO KAWASAN

    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang
    Bencana banjir dapat dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dipicu oleh beberapa faktor penyebab:
    a. Fenomena alam, seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah;               b. Aktivitas manusia (Proses Man-Made) yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak.
    Sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan prioritas utama untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan. Sehubungan dengan masalah banjir, langkah yang diambil adalah melalui kegiatan penataan ruang, dengan penekanan pada pengendalian pemanfaatan ruang, serta kegiatan rekayasa teknis yang mendukung proses penanganan dan pengendalian.
    Terkait dengan kawasan rawan bencana banjir, kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui upaya penanggulangan untuk meminimalkan dampak akibat bencana yang mungkin timbul. Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari pola pengendalian pemanfaatan ruang di bagian hulu, dalam lingkup satuan wilayah sungai (SWS).
    Substansi pedoman mencakup semua aspek yang terkait dengan rencana dan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir, serta pengendalian pemanfaatan ruang.
    1.2.  Tujuan dan Sasaran
    Pedoman Tujuan pedoman ini adalah sebagai rujukan dan pegangan bagi stakeholders pembangunan di wilayah provinsi dan kota/kabupaten, dalam rangka:
    1. Pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya di kawasan budidaya, yang rawan terhadap bencana banjir;
    2. Penanganan dalam rangka meminimalkan dampak bencana banjir, pada kawasan-kawasan rawan terhadap bencana banjir;
    3. Pengelolaan kawasan rawan bencana banjir.
    Sedangkan sasaran pedoman adalah:
    1. Terwujudnya pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir, termasuk di dalamnya mekanisme pengendalian ruang di kawasan rawan bencana banjir;
    2. Mekanisme Perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir, yang sesuai dan mendukung upaya penerapan rencana pemanfaatan ruang;
    3. Prosedur penanganan yang tepat, dalam rangka meminimalkan dampak bencana banjir pada kawasan rawan bencana.
    1.3.  Manfaat Pedoman
    Pedoman ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan oleh:
    1. Pemerintah Daerah, dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan lindung maupun budidaya, serta menjadi masukan dalam mekanismen perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir maupun normalisasi pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir yang telah dilandasi oleh mekanisme perijinan yang memadai;
    2. Pemerintah Daerah, sebagai acuan dlam penyusunan Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah di daerahnya masing-masing;
    3. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalam pengendalian perijinan dan normalisasi pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana banjir;
    4. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalam pengendalian pemanfaatan ruang, baik di kawasan lindung maupun budidaya.
    1.4.  Sistematika Pedoman
    BAB 1 PANDAHULUAN Memuat penjelasan tentang latar belakang penyusunan pedoman, tujuan dan sasaran, manfaat pedoman, serta sistematika pedoman.
    BAB 2 KETENTUAN UMUM, Pembahasan mencakup pengertian umum yang digunakan dalam pedoman, kedudukan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir, serta dasar hukum yang menjelaskan keterkaitan dengan kebijakan maupun pedoman yang ada.
    BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN BENCANA BANJIR Penjelasan meliputi aspek pembagian ruang yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, kebijakan pokok pemanfaatan ruang, pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, permasalahan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, serta konsep pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir.
    BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA BANJIR Pada bagian ini dilakukan tinjauan terhadap tipologi kawasan, tingkat kerawanan kawasan rawan bencana banjir, rekomendasi pemanfaatan menurut tipologi, rekayasa teknik, mekanisme perijinan, serta kelembagaan dan peran masyarakat.

    BAB 2 KETENTUAN UMUM

    2.1 Pengertian
    Pengertian merupakan penjelasan beberapa istilah yang dipergunakan dalam Pedoman Teknis, yaitu terdiri dari:
    1. Pedoman adalah acuan bersifat umum, yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan Daerah setempat;
    2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain, sebagai badan eksekutif daerah;
    3. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;
    4. Tata Ruang adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak direncanakan;
    5. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
    6. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang;
    7. Struktur Pemanfaatan Ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya;
    8. Pola Pemanfaatan Ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;
    9. Wilayah adalah ruang sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait di dalamnya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional;
    10. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya;
    11. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan;
    12. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan;
    13. Zona adalah kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki potensi atau permasalahan yang mendesak untuk ditangani dalam mewujudkan tujuan perencanaan dan pengembangan kawasan;
    14. Area adalah bagian (sub-sistem) dari kawasan fungsional;
    15. Tipologi Kawasan adalah penggolongan kawasan sesuai dengan karakter dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan prasarana dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap, dinamis, dan peralihan;
    16. Bencana Alam adalah fenomena atau proses alamiah, yang sering dipengaruhi oleh aktivitas manusia, yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa atau kerugian pada manusia;
    17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam;
    18. Banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia;
    19. Daerah Rawan Banjir adalah kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulangkali);
    20. Sumber-sumber Air adalah tempat-tempat dan wadah-wadah tampungan air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah;
    21. Pendayagunaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan, untuk kepentingan manusia dan mahluk hidup lainnya yang meliputi kegiatan peruntukan, pengembangan, pemanfaatan dan pengusahaan dari air, sumber-sumber air dan prasarana pengairan;
    22. Pengelolaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk merencanakan, melaksanakan, menyelenggarakan, mengendalikan, menggunakan, mengeksploitasi, memelihara, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, serta mewujudkan ketersediaannya di setiap waktu, pada lokasi yang diperlukan, dengan jumlah yang memadai, dengan mutu yang memenuhi syarat, dan memberikan manfaat pada masyarakat;
    23. Konservasi Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk mengawetkan, melindungi, mengamankan, mempertahankan, melestarikan, dan
      mengupayakan keberlanjutan keberadaan sumber daya air yang serasi, seimbang, selaras dan berguna sepanjang masa;
    24. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh sempadan; 14. Wilayah Sungai (WS) adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai;
    25. Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai;
    26. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau mengalir ke permukaan tanah melalui sungai, anak sungai dalam wilayah tersebut;
    27. Daerah Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan saluran/sungai termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai;
    28. Daerah Manfaat Sungai adalah mata air, palung sungai dan daerah sempadan sungai yang telah dibebaskan;
    29. Daerah Penguasaan Sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan;
    30. Bantaran Sungai adalah lahan pada kegua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sungai sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam;
    31. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bangunan sungai dalam hal ini bangunan bendungan, dan terbentuk pelebaran alur/badan/palung sungai;
    32. Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alamiah dan atau air permukaan sebagai siklus hidrologi, dan merupakan salah satu bagian yang juga berperan potensial dalam kawasan lindung;
    33. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka perbandingan jumlah luas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan rencana kota;
    34. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan rencana kota;
    35. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan tata ruang;
    36. Ijin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perorangan atau Badan Hukum/ Perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal, yang berlaku pula sebagai ijin pemindahan hak atas tanah dan untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata ruang wilayah;
    37. Prasarana dan Sarana adalah bangunan fisik yang terkait dengan kepentingan umum dan keselamatan umum, seperti prasarana dan sarana perhubungan, prasarana dan sarana sumber daya air, prasarana dan sarana permukiman, serta prasarana dan sarana lainnya.
    2.2 Kedudukan Pedoman
    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir merupakan :
    1. Penjabaran dari Undang-Undang No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa penataan ruang terdiri dari tiga tahapan kegiatan, yaitu perencanaan, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Secara prinsip ketiga tahapan tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, mengingat selesainya satu kegiatan harus segera diikuti dengan kegiatan berikutnya, atau seluruh tahapan kegiatan harus dilaksanakan secara bersama-sama (simultan), dengan tetap berpijak pada sistem perencanaan terpadu.
    2. Penjabaran teknis (Petunjuk Teknis) terhadap pola pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
    Pada Gambar 2.1 disajikan Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir dalam Penataan Ruang.
    g21jpg
    2.3 Dasar Hukum
    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir disusun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu terdiri dari:
    1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;
    2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
    3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah;
    4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
    5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang;
    6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN);
    7. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
    8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;
    9. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
    10. Permendagri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.
    11. Pedoman Penanggulangan Banjir (A-71), Ir. Y. Sudaryoko, Departemen Pekerjaan Umum.
    Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir akan menjadi salah satu acuan dalam penyusunan rencana tata ruang yang lebih rinci. Disamping itu, juga dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam pelaksanaan penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, yang secara spesifik fokus pada pengendalian pemanfaatan ruang Kabupaten/Kota, khususnya di kawasan rawan bencana banjir.

    BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN BENCANA BANJIR

    3.1 Konsep Pengendalian
    Sehubungan dengan penanganan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian, yaitu:
    1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Banjir) Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan banjir (Pedoman Penanggulangan Banjir (A-71), Ir. Y. Sudaryoko, Departemen Pekerjaan Umum);
    2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang) Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem.
    Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.
    3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor dan Banjir
    Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu:
    1. Kawasan Rawan Bencana Longsor;  Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung;
    2. Kawasan Rawan Bencana Banjir;  Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai Kawasan Budidaya.
    g311
    Gambar 3.1 Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor
    Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.
    3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang
    Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan.
    Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.
    Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang di kawasan yang secara umum diklasifikasikan menjadi:
    1. Daerah Pesisir/Pantai
    2. Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area)
    3. Daerah Sempadan Sungai
    4. Daerah Cekungan.
    3.4 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan banjir. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain, sebagai kesatuan paket kebijakan.
    Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir adalah:
    1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola pengelolaan kawasan di sebelah hulu.
    2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana banjir. Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai potensi terhadap bahaya banjir.
    3.5 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Permasalahan banjir yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/pengelolaan banjir adalah:
    1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan;
    2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir, sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian;
    3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan hulu maupun hilir.
    Permasalahan banjir hanya dapat direduksi, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, secara prinsip masalah banjir tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan sama sekali, sehingga menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melakukan pemantauan dan penanganan melalui penyediaan sarana dan prasarana, sehingga dampak negatif dapat direduksi semaksimal mungkin.
    3.6 Konsep Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    3.6.1 Keseimbangan Ekosistem
    Pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dengan upaya penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada. Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan, dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran.
    Prosedur penetapan jenis-jenis kegiatan pemanfaatan ruang kawasan yang dipilih dalam penanganan banjir harus melalui pemahaman kondisi setempat dan wilayah terkait, proses kajian penyebab/tipologi dan akhirnya arahan pemanfaatan ruang, yang mencakup upaya preventif dan mitigasi dengan pertimbangan keseimbangan ekosistem dan lingkungan, sehingga terhindar dari bencana atau paling tidak mengurangi dampaknya, yang sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat.
    Beberapa faktor berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem, meliputi:
    1. Bio Fisik, terkait dengan jenis dan struktur tanah, morfologi, dan aspek hayati;
    2. Hidrologi, menyangkut kondisi dan faktor iklim, tata air, serta sistem pengendalian;
    3. Sosial Ekonomi/Kependudukan, meliputi aspek kepadatan, kuantitas, kualitas, serta perilaku;
    4. Penggunaan Lahan, merupakan tutupan atau pemanfaatan lahan pada kawasan tertentu.
    3.6.2 Pengelolaan Ruang Kawasan Rawan
    Bencana Banjir Tahapan pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir, adalah meliputi:
    1. Analisis dan identifikasi penyebab utama kawasan rawan bencana banjir Analisis dilakukan berdasarkan rona wilayah untuk mengetahui permasalahan, potensi, peluang dan ancaman terhadap pengembangan kawasan rawan banjir. Adapun lingkup kegiatan rona kawasan/wilayah yang dilakukan meliputi:
      • Rona Sosial Berkaitan dengan jumlah dan kualitas kependudukan, social management, sosial ekonomi, dan kebutuhan dasar (basic needs).
      • Rona Ekonomi dan Kegiatan Pola Usaha Berkaitan dengan struktur dan perkembangan ekonomi, tingkat kesejahteraan masyarakat, fasilitas perdagangan dan jasa, kesempatan kerja, ketersediaan bahan pangan, keadaan industri kecil, dan sebagainya.
      • Rona Fisik dan Lingkungan Keadaan fisik berupa topografi wilayah, iklim, geologi tata lingkungan/ struktur batuan, erosi, abrasi dan sebagainya, ketersediaan air permukaan dan air tanah, keadaan kelestarian lingkungan, dan keadaan sumberdaya alam, bahan galian dan mineral.
      • Rona Infrastruktur Meliputi kondisi jaringan jalan, rel kereta api, transportasi laut, dan udara, termasuk akses ke pesawat pelayanan.
      • Rona Kelembagaan Mencakup pembahasan tentang jumlah dan sumber pendapatan asli daerah, jumlah belanja rutin dan pembangunan, jumlah dan presentasi subsidi, daya serap, dan pranata sosial kelembagaan. Hasil kajian meliputi arah pengembangan budidaya pertanian, pertambangan, industri, permukiman serta prasarana transportasi, Identifikasi penyebab utama banjir pada kawasan ini dilakukan sedemikian sehingga dapat ditemukan faktor-faktor penyebab banjir, seperti faktor alam, peristiwa alam, dan manusia.
    2. Tipologi kawasan rawan bencana banjir Tipologi kawasan rawan bencana banjir merupakan klasifikasi kawasan berdasarkan penyebab, sehingga arahan/usulan pengelolaan atau pemanfaatan ruang dapat lebih praktis.
    3. Identifikasi sebaran kawasan rawan bencana banjir dan garis pengaruh Penanganan kawasan rawan bencana banjir harus dilakukan dalam satu kesatuan wilayah, mulai yang menyebabkan terjadinya banjir hingga yang menerima dampak. Terkait dengan hal tersebut perlu diidentifikasi sebaran kawasan dan daerah pengaruhnya, atau pembuatan batasan wilayah banjir yang dituangkan dalam bentuk peta banjir.
    4. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir Arahan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, baik untuk pengembangan budidaya, dan prasarana transportasi didasarkan pada tipologi kawasan. Arahan terhadap masing-masing pengembangan diklasifikasikan menjadi:
      • Dapat dibangun/dikembangkan dengan syarat;
      • Dapat dibangun / dikembangkan secara sederhana;
      • Tidak layak dibangun/dikembangkan.
    5. Identifikasi upaya pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir Upaya pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir mengatur berbagai tindakan yang diperlukan untuk mengaplikasi arahan pemanfaatan ruang, termasuk penetapan beberapa kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang.

    BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN BANJIR

    4.1 Keseimbangan Ekosistem
    4.1.1 Bio Fisik
    Keseimbangan bio fisik terkait dengan aspek:
    • Jenis dan Struktur Tanah. Berhubungan dengan indikasi kemampuan tanah untuk mendukung proses perkolasi atau peresapan air ke dalam tanah.
    • Morfologi Kawasan. Morfologi kawasan meliputi kondisi topografi kawasan, yang tidak terlepas dari kondisi elevasi lahan
    • Kondisi Hayati. Merupakan kondisi tutupan atau vegetasi yang ada di dalam kawasan satuan wilayah sungai.
    4.1.2 Hidrologi
    Kajian banjir tidak dapat dilepaskan dari pola pikir “One River One Management”, yaitu pola pengelolaan satuan wilayah sungai (SWS) sebagai satu kesatuan sistem. Disamping itu, beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus adalah menyangkut klimatologi dan siklus hidrologi.
    • Klimatologi. Secara prinsip, terkait dengan permasalahan banjir dan longsor, faktor iklim menjadi sangat dominan disamping faktor struktur alam yang ada dalam suatu kawasan. Unsur-unsur penting dalam klimatologi adalah suhu udara rata-rata, kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas penyinaran matahari.
    • Siklus Hidrologi. Siklus hidrologi pada hakekatnya merupakan sirkulasi ari di bumi, yang secara alami melibatkan seluruh fenomena alam yang ada dalam prosesnya. Secara fisik, sungai akan berfungsi sebagai pengumpul dari 3 (tiga) jenis limpasan, yaitu limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow), dan limpasan air tanah (groundwater runoff), yang akhirnya akan mengalir ke laut. Secara singkat proses yang terjadi adalah, uap dari laut dihembus ke atas daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai persipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai persipitasi (sebagian jatuh langsung ke sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut).
    Sebagian dari hujan atau salju yang jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan, dan sebagian yang lain akan mengalir ke sungai dan akhirnya menuju ke laut.
    Sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan akan berlangsung terus menerus, dan sirkulasi air ini disebut dengan Siklus Hidrologi (Hydrological cycle), seperti disajikan pada Gambar 4.1.
    g41jpg
    Sumber : Hidrologi untuk pengairan, editor Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda
    Hubungan antara siklus hidrologi dan neraca air (water balance), secara singkat disajikan pada Gambar 4.2.
    g42
    Sumber : Hidrologi untuk pengairan, editor Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda
    Dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu, dinamakan dengan neraca air (water balance). Secara umum terdapat hubungan keseimbangan sebagai berikut:

    P = D + E + G + M

    Dimana:
      • D : debit
      • E : evapotranspirasi
      • G : penambahan (supply) air tanah
      • M : penambahan kadar kelembaban tanah (moisture content)
    • Jenis Banjir. Dilihat dari aspek penyebabnya, jenis banjir yang ada dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu:
      1. Banjir yang disebabkan oleh hujan yang lama, dengan intensitas rendah (hujan siklonik atau frontal) selama beberapa hari. Dengan kapasitas penyimpanan air yang dimiliki oleh masing-masing Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang akhirnya terlampaui, maka air hujan yang terjadi akan menjadi limpasan yang selanjutnya akan mengalir secara cepat ke sungai-sungai terdekat, dan meluap menggenangi areal dataran rendah di kiri-kanan sungai. Jenis banjir ini termasuk yang paling sering terjadi di Indonesia.
      2. Banjir karena salju yang mengalir, terjadi karena mengalirnya tumpukan salju dan kenaikan suhu udara yang cepat di atas lapisan salju. Aliran salju ini akan mengalir dengan cepat bila disertai dengan hujan. Jenis banjir ini hanya terjadi di daerah yang bersalju.
      3. Banjir Bandang (flash flood), disebabkan oleh tipe hujan konvensional dengan intensitas yang tinggi dan terjadi pada tempat-tempat dengan topografi yang curam di bagian hulu sungai. Aliran air banjir dengan kecepatan tinggi akan memiliki daya rusak yang besar, dan akan lebih berbahaya bila disertai dengan longsoran, yang dapat mempertinggi daya rusak terhadap yang dilaluinya.
      4. Banjir yang disebabkan oleh pasang surut atau air balik (back water) pada muara sungai atau pada pertemuan dua sungai. Kondisi ini akan menimbulkan dampak besar, bila secara bersamaan terjadi hujan besar di daerah hulu sungai yang mengakibatkan meluapnya air sungai di bagian hilirnya, serta disertai badai yang terjadi di lautan atau pantai.
    4.1.3 Sosial Ekonomi/Kependudukan
    Keseimbangan sosial ekonomi/kependudukan mencakup aspek:
    • Kepadatan Tingkat kepadatan penduduk/permukiman berhubungan dengan sebaran penduduk, dan sangat berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang dan kebijakan yang terkait.
    • Kuantitas Meliputi jumlah, ratio sex, dan pola pertumbuhan.
    • Kualitas Meliputi tingkat dan kualifikasi sumber daya manusia, kegiatan dan aktifitas sosial ekonomi
    • Perilaku Meliputi pola kegiatan dan kebiasaan penduduk, dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
    4.1.4 Penggunaan Lahan
    Berhubungan dengan pola pemanfaatan lahan yang ada, terhitung mulai dari hulu hingga hilir, dalam sistem satuan wilayah sungai (SWS). Mengingat cakupan (SWS) secara umum dapat terdiri dari beberapa wilayah administrasi, maka diperlukan pola dan mekanisme kerjasama antar wilayah administrasi, dengan mempertimbangkan kedudukan masing-masing wilayah.
    4.2 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    4.2.1 Analisis dan Identifikasi Penyebab Utama Kawasan Rawan Bencana Banjir
    1. Faktor Kondisi Alam. Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya ambang atau pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya degradasi lahan, sehingga menambah luasan areal dataran rendah.
      • Topografi. Daerah-daerah dataran rendah atau cekungan, merupakan salah satu karakteristik wilayah banjir atau genangan.
      • Tingkat Permeabilitas Tanah. Daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tanah rendah, mempunyai tingkat infiltrasi tanah yang kecil dan runoff yang tinggi. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang karakteristik di kiri dan kanan alur sungai mempunyai tingkat permeabilitas tanah yang rendah, merupakan daerah potensial banjir.
      • Kondisi Daerah Pengaliran Sungai. Daerah pengaliran sungai (DPS) yang berbentuk ramping mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang rendah, sedangkan daerah yang memiliki DPS berbentuk membulat, mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang tinggi. Hal ini terjadi karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai (orde yang lebih kecil) yang hampir sama, sehingga bila hujan jatuh merata di seluruh DPS, air akan datang secara bersamaan dan akhirnya bila kapasitas sungai induk tidak dapat menampung debit air yang datang, akan menyebabkan terjadinya banjir di daerah sekitarnya.
      • Kondisi Geometri Sungai
        • Gradien Sungai. Pada dasarnya alur sungai yang mempunyai perubahan kemiringan dasar dari terjal ke relatif datar, maka daerah peralihan/pertemuan tersebut merupakan daerah rawan banjir.
        • Pola Aliran Sungai. Pada lokasi pertemuan dua sungai besar, dapat menimbulkan arus balik (back water) yang menyebabkan terganggunya aliran air di salah satu sungai, yang mengakibatkan kenaikan muka air (meluap). Pada saat hujan dengan intensitas tinggi, terjadi peningkatan debit aliran sungai sehingga pada tempat pertemuan tersebut debit aliran semakin tinggi, dan kemungkinan terjadi banjir.
        • Daerah Dataran Rendah. Pada daerah Meander (belokan) sungai yang debit alirannya cenderung lambat, biasanya merupakan dataran rendah, sehingga termasuk dalam klasifikasi daerah yang potensial atau rawan banjir.
        • Penyempitan dan Pendangkalan Alur Sungai. Penyempitan alur sungai dapat menyebabkan aliran air terganggu, yang berakibat pada naiknya muka air di hulu, sehingga daerah di sekitarnya termasuk dalam klasifikasi daerah rawan banjir. Pendangkalan dasar sungai akibat sedimentasi, menyebabkan berkurangnya kapasitas sungai yang menyebabkan naiknya muka air di sekitar daerah tersebut.
    2. Faktor Peristiwa Alam
      • Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan;
      • Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai;
      • Air/arus balik (back water) dari sungai utama;
      • Penurunan muka tanah (land subsidance);
      • Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin.
    3. Aktivitas Manusia
      • Pembudidayaan daerah dataran banjir;
      • Peruntukan tata ruang di dataran banjir yang tidak sesuai;
      • Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir;
      • Permukiman di bantaran sungai;
      • Sistem drainase yang tidak memadai;
      • Terbatasnya tindakan mitigasi banjir;
      • Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai;
      • Penggundulan hutan di daerah hulu;
      • Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir;
      • Elevasi bangunan tidak memperhatikan peil banjir.
    4.2.2 Tipologi Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Tipologi kawasan rawan bencana banjir merupakan pengelompokkan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir, sesuai dengan karakteristik penyebab banjir, serta geomorfologi wilayah (Tabel 4.1 dan 4.2)
    t41
    Adapun tipologi kawasan budidaya rawan bencana banjir adalah (Tabel 4.2):
    1. Dataran Rendah (Tipologi A)
      • Daerah Pesisir Pantai (Tipologi A1)
      • Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area) (Tipologi A2)
      • Daerah Sepandan Sungai (Tipologi A3)
      • Daerah Cekungan (Tipologi A4)
    2. Dataran Tinggi (Tipologi B)
      • Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area) (Tipologi B1)
      • Daerah Sepandan Sungai (Tipologi B2)
      • Daerah Cekungan (Tipologi B3)
    3. Pegunungan/Perbukitan (Tipologi C)
      • Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area) (Tipologi C1)
      • Daerah Sepandan Sungai (Tipologi C2)
      • Daerah Cekungan (Tipologi C3)
    t42
    (1) Daerah Pesisir Pantai
    Daerah pesisir pantai menjadi rawan banjir disebabkan daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi muka tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (Mean Sea Level / MSL), dan menjadi tempat bermuaranya sungai-sungai, apalagi bila ditambah dengan dimungkinkan terjadinya badai angin topan di daerah tersebut.
    Kawasan ini banyak terdapat di kota-kota besar (urban area) di dunia, sehingga sering terjadi bencana banjir yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar, seperti korban jiwa, harta benda, serta merusak prasarana dan sarana kota. Sebagai contoh yang termasuk dalam katagori ini adalah daerah pesisir pantai utara dan selatan Pulau Jawa, Kota Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan lain sebagainya.
    Karakteristik Daerah Pesisir/Pantai :
    a. Faktor Kondisi Alam
    • Topografi merupakan daerah dataran rendah, landai;
    • Dilalui sungai besar dengan debit > 50 m3/det;
    • Memiliki DPS yang besar;
    • Tingkat permeabilitas tanah rendah, infiltrasi kecil dan limpasan besar;
    • Muka air tanah tinggi, resapan air kecil
    • Daerah retensi air dan rawa
    b. Faktor Peristiwa Alam
    • Intensitas curah hujan tinggi dan lamanya hujan;
    • air laut pasang;
    • air balik (back water) dari sungai akibat pasang laut;
    • badai dan angin ribut dari laut.
    c. Faktor Aktifitas Manusia
    • penurunan muka tanah (land subsidance) akibat penyedotan air tanah dan aktifitas pembanguan;
    • sistem drainase tidak memadai;
    • belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir.
    (2) Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area)
    Daerah dataran banjir (floodplain area) adalah daerah dataran rendah di kiri dan kanan alur sungai, yang elevasi muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat, yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal di daerah tersebut.
    Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat subur, dan terdapat di daerah pesisir pantai atau bagian hilir sungai, dan seringkali merupakan daerah kawasan pengembangan (pembudidayaan) perkotaan, seperti pertanian, permukiman dan pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, industri dan lain sebagainya.
    Daerah ini bila dilalui oleh sungai (besar) yang mempunyak daerah pengaliran sungai (DPS) cukup besar, dan mempunyai debit banjir yang cukup besar, akan menimbulkan bencana banjir di daerah tersebut. Kondisi ini akan lebih parah apabila terjadi hujan cukup besar di daerah hulu dan hujan lokal di daerah tersebut, disertai pasang air laut.
    Karakteristik Daerah Dataran Banjir :
    a. Faktor Kondisi Alam
    • Topografi merupakan daerah dataran rendah, landai dengan elevasi muka tanah relatif datar dari muka air normal sungai terdekat, sehingga aliran air di daerah tersebut lambat, dan atau tidak dapat mengalir secara gravitasi ke sungai/laut;
    • Dilalui sungai besar dengan debit > 50 m3/detik;
    • Memiliki DPS yang besar;
    • Tingkat permeabilitas tanah rendah, infiltrasi kecil dan limpasan besar, muka air tanah tinggi, resapan air kecil;
    • Daerah belokan sungai (meandering).
    b. Faktor Peristiwa Alam
    • Lama dan intensitas hujan tinggi, baik hujan lokal di daerah tersebut maupun hujan di daerah hulu sungai;
    • Meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran sungai tidak rnemadai;
    • Sedimentasi, pendangkalan dan penyempitan sungai.
    c. Faktor Aktifitas Manusia
    • Belum adanya pola budidaya dan pengembangan dataran rendah rawan banjir;
    • Peruntukan tata ruang kawasan belum memadai dan tidak sesuai;
    • Sistem drainase tidak memadai;
    • Prasarana pengendali banjir yang terbatas;
    • Peruntukan tata ruang di DPS hulu;
    • Permukinan di bantaran sungai.
    (3) Daerah Sempadan Sungai
    Daerah Sempandan Sungai merupakan daerah rawan bencana banjir yang disebabkan pola pemanfaatan ruang budidaya untuk hunian dan kegiatan tertentu. Pemanfaatan lahan yang sering ditemuai pada daerah sempandan antaran lain:
    • Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diijinkan;
    • Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan;
    • Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan;
    • Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum;
    • Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan, baik umum maupun kereta api;
    • Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan kemsyarakatan dan keamanan fungsi serta fisik sungai;
    • Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Di daerah perkotaan yang padat, daerah sempandan sungai sering dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha, sehingga sering menimbulkan dampak bencana banjir yang membahayakan jiwa dan harta benda.
    Karakteristik umum Tipologi C (Daerah Sempadan Sungai):
    a. Faktor Kondisi Alam
    • Daerah kiri kanan sungai untuk mengalirkan aliran sungai;
    • Elevasi muka tanah relatif datar terhadap muka air normal sungai.
    (4) Daerah Cekungan
    Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi (hulu sungai) dapat menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai. Daerah cekungan yang dilalui sungai, pengelolaan bantaran sungai harus benar-benar dibudidayakan secara optimal, sehingga bencana dan masalah banjir dapat dihindarkan.
    Sebagai contoh daerah cekungan di dataran tinggi yang sering bermasalah dengan bencana banjir apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan waktu yang lama, adalah Cekungan Bandung di Kabupaten Bandung.
    Karakteristik Daerah Cekungan :
    a. Faktor Kondisi Alam
    • Elevasi muka tanah relalif datar terhadap muka air normal sungai /saluran terdekat;
    • Kecepatan aliran sungai rendah karena kemiringan dasar saluran yang relatif kecil.
    b. Faktor Peristiwa Alam
    • Lama dan intensitas hujan tinggi, baik hujan lokal di daerah tersebut maupun hujan di daerah hulu sungai;
    • Meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran sungai tidak memadai;
    • Sedimentasi, pendangkalan dan penyempitan sungai.
    c. Faktor Aktifitas Manusia
    • Belum ada pola budidaya dan pengembangan dataran rendah/ cekungan;
    • Peruntukan tata ruang kawasan belum rnemadai dan tidak sesuai;
    • Sistem drainase tidak memadai; �� Prasarana pengendali banjir yang terbatas;
    • Peruntukan tata ruang di DPS hulu;
    • Permukiman di bantaran sungai.
    Untuk pemahaman terkait dengan tipologi kawasan rawan bencana banjir, pada Gambar 4.3 hingga 4.6 disajikan penjelasan skema gambar tipologi kawasan.
    g43
    Gambar 4.3. Tipikal Kawasan Rawan Bencana Banjir
    g44
    Gambar 4.4. Tipologi Banjir Daerah Pesisir
    g45
    Gambar 4.5. Tipologi Banjir daerah Sempadan Sungai dan Daerah Dataran Banjir
    g46
    Gambar 4.6. Tipologi Banjir Daerah Cekungan
    4.2.3 Identifikasi Sebaran Kawasan Rawan Bencana Banjir dan Garis Pengaruh
    Identifikasi sebaran kawasan rawan banjir dan daerah pengaruh, ditetapkan berdasarkan tingkat atau daya rusak air yang membahayakan jiwa maupun harta benda (meterial).
    Untuk mendukung pelaksanaan identifikasi sebaran tersebut, pendekatan dapat dilakukan dengan menggunakan data-data sebagai berikut:
    1. Peta-peta, yang terdiri dari peta topografi, geologi, hidrologi (hidrogeologi dan hidrometeorologi), rawan bencana banjir dan longsor;
    2. Laporan, meliputi publikasi khusus, hasil seminar dan bahan bacaan media cetak serta elektronik;
    3. Identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tentang tingkat kerawanan kawasan bencana banjir dan longsor.
    4.2.4 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan di kawasan rawan bencana banjir, dilakukan sesuai tipologi bentang alam dan fungsi lahan pada masing-masing kawasan, baik kawasan lindung maupun budidaya.
    Sesuai Gambar 3.1 tipe bentang alam dibedakan atas:
    a. Kawasan Rawan Bencana Banjir:
    a.1 Pesisir;
    a.2 Dataran;
    b. Kawasan Rawan Bencana Longsor:
    b.1 Perbukitan dan Pegunungan.
    (1) Arahan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Kawasan Lindung Kawasan lindung dibedakan menurut fungsi ekosistem, yang terdiri dari daerah a) resapan air, b) daerah aliran sungai (DAS), c) danau, d) daerah rawan bencana, e) hutan lindung alami, f) wisata, g) permukiman, h) cagar budaya dan i) cagar alami.
    Arahan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Lindung dengan indikator di atas, untuk tipologi kawasan rawan bencana banjir sesuai fungsi ekosistemnya, disajikan pada Tabel 4.3. – 4.5.
    (2) Arahan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya dibedakan menurut fungsi ekosistem, yaitu a) permukiman, b) industri, c) kawasan perdagangan, d) sawah, e) kebun campuran/perkebunan, f) transportasi. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Budidaya dengan indikator di atas, untuk tipologi kawasan rawan bencana banjir sesuai fungsi ekosistemnya, disajikan pada Tabel 4.6. -4.14.
    4.2.5 Identifikasi Upaya Pengelolaan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir
    Untuk pengelolaan ruang kawasan rawan banjir diarahkan pada penanganan banjir yang berupa pencegahan dini (preventif) dan pencegahan sebelum terjadinya bencana banjir (mitigasi), yang terdiri dari kombinasi antara upaya struktur (bangunan pengendali banjir) dan non-struktur (perbaikan atau pengendalian DAS). Kebijakan yang terkait dengan upaya pengelolaan meliputi:
    1. Rekayasa Teknik
    2. Mekanisme Perijinan
    3. Kelembagaan dan Peran Serta Masyarakat.
    4.3 Rekayasa Teknik
    4.3.1 Rekayasa Non-Struktural
    Bentuk upaya pengendalian pemanfaatan ruang secara Non-Struktural (Pengendalian DAS), meliputi :
    • Pengelolaan daerah pengaliran sungai (watershed management), yang diharapkan dapat mengurangi limpasan runoff pada DPS tersebut ke sungai utama;
    • Pengelolaan kawasan banjir (floodplain management) termasuk penerapan zona tata guna lahan (land use zoning regulation) dan peraturan bentuk, struktur dan jenis bahan bangunan;
    • Flood proofing dari bangunan yang ada pada kawasan tersebut;
    • Prakiraan banjir dan sistem peringatan dini.
    (1) Pengelolaan Daerah Pengaliran Sungai
    Pengelolaan daerah pengaliran sungai meliputi penerapan peraturan dan penegakan hukum serta pelaksanaan tata guna lahan (land use) )”yang terenlcana disesuaikan dengan kondisi lahan sehingga seluruh kegiatan di DPS tersebut dapat menunjang upaya konservasi lahan dan air serta dapat mengurangi limpasan/runoff ke sungai yaitu antara lain dengan:
    • Pembuatan terasering;
    • Penghijauan dengan tanaman keras;
    • Pembuatan saluran-saluran tanah yang dapat mengurangi erosi tanah, yang dapat menyebabkan sedimentasi sungai;
    • Pembuatan sumur resapan;
    • Rehabilitasi situ-situ;
    • Pembuatan check dam di badan sungai untuk menanggulangi erosi dasar sungai.
    Implementasi dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kehutanan serta Menteri Negara Lingkungan Hidup, dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No.51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenal Dampak Lingkung, serta Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
    Sebagai contoh petani/peladang dilarang menanami tanah kehutanan dan diperlukan terasering dengan kemiringan tidak melebihi 20 derajat.
    (2) Pengelolaan Kawasan Banjir
    Pengelolaan dataran banjir dilakukan melalui penerapan peraturan daerah yang menetapkan rencana tata ruang wilayah di kawasan banjir, dan disesuaikan dengan adanya kemungkinan banjir dengan membuat peta resiko banjir (flood map risk) dan pembagian zona/klasifikasi dataran banjir (floodplain zoning) berdasarkan tingkat kerawanan terhadap banjir, sehingga diharapkan dapat mencegah atau mengarahkan kegiatan yang mungkin timbul di kawasan tersebut.
    Faktor-faktor ekonomi sosial dan lingkungan menjadi bahan pertimbangan teknis dalam pengelolaan dataran banjir, dan beberapa faktor yang menentukan tingkat resiko banjir meliputi:
    • Besarnya banjir/genangan yaitu kedalaman dan kecepatan aliran banjir;
    • Efektifnya waktu peringatan banjir;
    • Kesiapan menghadapi banjir;
    • Kecepatan naiknya elevasi banjir;
    • Lamanya genangan;
    • Halangan-halangan aliran air banjir;
    • Tingkat kerusakan bencana banjir;
    • Masalah evakuasi.
    Pengelolaan kawasan rawan banjir memerlukan peta resiko banjir untuk mencegah dan menghindari dampak bencana banjir. Pembuatan pedoman tentang peta resiko banjir harus memperhatikan standard tertentu yang harus mudah di baca oleh semua orang. Publikasi peta resiko banjir sangat penting dan memiliki banyak manfaat bagi pelaku ekonomi, sosial, dan lingkungan, oleh karena itu data dan informasi yang diperlukan untuk membuat peta tersebut dikumpulkan dan dievaluasi untuk mendapatkan peta resiko banjir yang akurat.
    Data-data dan informasi yang ada pada peta tersebut adalah :
    a. Lokasi dengan tanda/warna tertentu di daerah banjir dengan kedalaman tertentu, seperti:
    • kedalaman 0 – 0,5 meter
    • kedalaman 0,5 – 1,0 meter
    • Kedalaman 1,0 meter lebih.
    b. Luas daerah dataran banjir.
    c. Jumlah rumah di daerah tersebut
    d. Jumlah penduduk di daerah tersebut.
    e. Skala peta 1 : 10.000 s.d. 1 : 50.000
    f. Periode ulang kemungkinan banjir 100 tahun.
    g. Jaringan jalan, sungai, banjir kanal, stasiun pompa, waduk, nama kelurahan/kecamatan.
    Pemanfaatan daerah kawasan banjir harus diatur dengan pedoman dari peta resiko banjir dan zona dataran banjir. Pedoman tersebut memiliki beberapa tujuan, yaitu:
    • Mengurangi dampak bencana pada permukiman yang ada.
    • Mempersiapkan syarat-syarat bagi permukirnan yang ada dalam menghadapi banjir
    • Mengijinkan pemukiman baru dengan persyaratan tertentu, seperti flood proofing.
    • Melarang adanya pengembangan daerah permukiman yang baru.
    (3) Flood Proofing
    Flood proofing tidak mencegah terjadinya banjir, tapi mengurangi dampak bencana pada saat kejadian banjir, yaitu antara lain dengan :
    a. Meninggikan elevasi muka tanah;
    b. Meninggikan elavasi struktur bangunan;
    c. Menggunakan bahan bangunan tahan air.
    Flood proofing dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
    • Menetapkan elevasi banjir rencana (design flood level) baik dari perhitungan maupun dari elevasi banjir besar yang pemah terjadi;
    • Menetapkan tinggi jagaan (freeboard) sebagai faktor keamanan, yaitu 30-50 cm di atas elevasi banjir rencana;
    • Menetapkan lokasi, yaitu di daerah tepi dataran banjir (flood fringe). Gambaran rinci flood proofing dapat dilihat pada Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9.
    g47
    Gambar 4.7 Pola-Pola Peningkatan Elevasi Bangunan
    g48
    Gambar 4.8 Flood Proofing Dengan Rekayasa Elevasi Bangunan
    g49
    Gambar 4.9 Tipikal Bangunan pada Flood Proofing
    (4) Prakiraan Banjir dan Sistem Peringatan Dini
    Prakiraan banjir memberikan prakiraan tentang waktu kejadian banjir dan besaran elevasi banjir di suatu lokasi rawan banjir di hilir sungai berdasarkan perhitungan penelusuran banjir (nood routing). Sistem peringatan dini memberikan peringatan tentang waktu kejadian aliran banjir dan atau aliran debit dengan waktu yang cukup untuk melakukan tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda. Metoda ini merupakan cara yang paling murah dan efektif untuk menegah kerusakan harta benda dan kehilangan jiwa akibat akan terjadinya kejadian banjir.
    Berbagai model matematika tentang hidrologi dan hidraulik telah banyak dipergunakan untuk menghitung penelusuran banjir secara otomatis, berdasarkan data-data hidrologi (curah hujan dan elevasi muka air) di hulu sungai, tentang kemungkinan terjadinya kejadian banjir di daerah rawan banjir
    Sejumlah data dari beberapa stasiun hujan dan elavasi muka air diperlukan untuk menentukan akurasi prakiraan banjir antara lain curah hujan, karakteristik dan luas DPS, karakeristik waduk dan sungai, elevasi muka air disertai beberapa parameter yang harus dikalibrasi berdasarkan rekaman banjir (flood marks) yang pernah terjadi.
    Sistem peringatan dini disampaikan melalui radio, telepon, telegram, televisi, media cetak, radio panggil (handy talky) untuk disampaikan kepada masyarakat yang ada di dataran banjir. Adapun sistem prakiraan banjir dan peringatan dini ini telah dipasang di beberapa DPS besar di Indonesia, seperti DPS Brantas, Bengawan Solo, Citarum, Cimanuk, serta Proyek Gunung Merapi untuk prakiraan aliran lahar dingin.
    4.3.2 Rekayasa Struktural
    Upaya Pengelolaan Ruang Secara Struktural (Bangunan Pengendali Banjir), yaitu:
    • Menurunkan elevasi muka air banjir dengan perbaikan alur sungai, normalisasi saluran, sudetan, banjir kanal dan interkoneksi sungai;
    • Mencegah terjadinya luapan air sungai pada debit banjir dengan periode ulang (return period) tertentu, dengan tanggul penahan banjir;
    • Mengurangi genangan dengan membuat sistem polder, pompa, waduk dan perbaikan sistem drainase;
    • Memperkecil debit banjir atau mengurangi puncak banjir dengan waduk retensi, banjir kanal, dan interkoneksi sungai.
    (1) Perbaikan Alur Sungai dan Normalisasi Saluran
    Perbaikan alur sungai dan normalisasi saluran adalah metoda yang paling umum digunakan dalam pengendalian banjir, yaitu mencegah meluapnya air sungai dengan:
    • Mengurangi panjang sungai/sodetan pada alur tertentu;
    • Mengurangi koefisien kekasaran dengan perbaikan tebing dan dasar sungai;
    • Melebarkan dan memperdalam sangai dengan pengerukan;
    • Pengendalian alur sungai dengan bangunan pengendali banjir seperti pintu-pintu air.
    Debit banjir rencana pada perbaikan alur sungai dan normalisasi saluran yang dipergunakan dengan periode wang 25 tahun untuk tanggul sungai dan periode ulang 50 tahun untuk kemiringan tebing dari tanggul.
    Elevasi muka tanggul rencana adalah elevasi muka air banjir pada periode ulang 25 tahun atau 50 tahun, ditambah dengan tinggi jagaan (free board) 30-50 cm. Pada Gambar 4.10 disajikan tipikal normalisasi saluran.
    g410
    Gambar 4.10 Tipikal Normalisasi Saluran
    (2) Tanggul dan Dinding Penahan Banjir
    Tanggul dan dinding penahan banjir adalah bangunan penahan yang dibangun di sepanjang aliran sungai/saluran, untuk menahan dan menghindari luapan air banjir ke dataran atau wilayah di sekitarnya.
    Tanggul dan dinding penahan banjir dibangun untuk melindungi daerah dataran banjir yang dipergunakan untuk permukiman, daerah industri dan pertanian. Di Indonesia biasanya dipergunakan material tanah yang dipadatkan, sementara dinding penahan banjir dapat dipergunakan pasangan batu kali, dinding beton bertulang dan bahan lainnya yang memenuhi syarat teknik.
    Beberapa kriteria tentang tanggul dan dinding penahan banjir, terdiri dari:
    • Tinggi tanggul;
    • Panjang tanggul;
    • Kekuatan dan faktor keamanan tanggul;
    • Material tanggul.
    Tanggul dan dinding penahan banjir dapat menghalangi aliran pada sistem drainase yang ada pada daerah dataran banjir ke sungai atau laut, sehingga diperlukan perencanaan khusus pada daerah tersebut, yaitu pada saluran drainase ke sungai yang ada di bangun pintu-pintu air atau pintu klep yang dapat mengalirkan air secara gravitasi ke sungai/laut bila elevasi muka air sungai/laut lebih rendah dan ditutup bila elevasi muka air lebih tinggi. Selanjutnya bila perlu dapat dipasang pompa air untuk membantu mengalirkan air dari daerah tersebut.
    Pada Gambar 4.11, 4.12, 4.13 disajikan tipikal tanggul dan dinding penahan banjir.
    g4111
    Gambar 4.11 Tanggul dan Dinding Penahan Banjir
    g412
    Gambar 4.12 Tipikal Pengaturan Tanggul di Meander Sungai
    g413
    Gambar 4.13 Parameter-Parameter Tanggul
    (3) Sistem Polder
    Daerah polder adalah suatu daerah dengan karakteristik elevasi muka tanah lebih rendah dari elevasi muka air sungai/laut yang ada, sehingga aliran air dari sistem drainase yang ada tidak dapat mengalir secara gravitasi, dan menjadikan daerah tersebut rawan terhadap banjir/genangan, baik oleh hujan lokal maupun luapan air sungai/laut.
    Daerah polder harus dilindungi dengan tanggul, sehingga air dari daerah lain tidak dapat masuk ke daerah tersebut, dan air hujan dan buangan domestik yang ada dialirkan/dikumpulkan melalui sistem drainase ke waduk, untuk selanjutnya dipompa ke laut.
    Waduk/reservoar merupakan tempat penampungan air sementara yang letaknya lebih rendah dari elevasi muka tanah/saluran di daerah tersebut, sehingga dapat mengalirkan dan menampung air secara gravitasi sebelum dipompa ke sungai/laut.
    Mengingat harga tanah di perkotaan relatif mahal, maka waduk/reservoar ini dapat menggunakan sungai/saluran (long storage) yang ada di daerah polder tersebut, dengan konsekuensi kapasitas pompa menjadi lebih besar. Sebagai contoh dapat dilihat di Kali Cideng dan Kanal Ancol di Jakarta. Penjelasan tentang sistem polder, disajikan pada Gambar 4.14.
    g414
    Gambar 4.14 Sistem Polder
    Besarnya kapasitas pompa sangat tergantung pada kapasitas waduk, dan hubungan antara kapasitas pompa dan kapasitas waduk dapat dilihat pada Gambar 4.15.
    g4151
    Gambar 4.15 Hubungan Antara Kapasitas Waduk dan Kapasitas Pompa
    Berdasarkan gambar tersebut, kapasitas waduk yang dibutuhkan dapat dicari dari pengurangan garis sejajar antara garis b dan garis c, dalam hal ini garis b merupakan kumulasi debit limpasan (m3/detik) terhadap waktu, yang masuk ke dalam waduk, dan garis c adalah kumulasi volume air yang dipompa terhadap waktu.
    (4) Saluran Pengelak Banjir
    Saluran pengelak banjir adalah saluran buatan untuk mengalihkan aliran banjir ke laut. Saluran ini digunakan untuk melindungi daerah dataran banjir atau daerah perkotaan yang luas, sehingga debit banjir yang mengalir ke daerah tersebut dapat dikendalikan pada debit tertentu, dengan dibuatnya bangunan pengendali berupa bendung atau pintu air dan debit banjir dialirkan ke laut.
    Saluran ini dapat juga berupa sudetan (cut off) pada alur sungai melingkari daerah rawan banjir, sehingga memperpendek aliran sungai di daerah tersebut.
    Kriteria perencanaan saluran pengendali banjir dan sudetan harus mengikuti berbagai pertimbangan teknis sebagai berikut :
    • Saluran pengendali banjir umumnya untuk melindungi daerah dataran banjir di perkotaan yang luas dan padat;
    • Kemiringan dasar saluran yang dibutuhkan harus relatif datar, sehingga tidak mengalami erosi pada saat aliran banjir dan sedimentasi pada saat air normal;
    • Bangunan terjunan (drop Structure) berupa bendung dan pintu air dibutuhkan bila kondisi topografi dasar saluran terlalu curam, dalam rangka mengatur kemiringan dasar saluran;
    • Kendala geologi dasar saluran harus dipertimbangkan untuk menghindari adanya erosi dan sedimentasi;
    • Aliran air yang mengalir ke sungai yang ada pada daerah tersebut dipertahankan sebagai drainase kota dan penggelontor bila diperlukan.
    Sebagai contoh saluran pengelak banjir adalah Banjir Kanal Barat di Jakarta, yang mengalihkan debit banjir Kali Ciliwung ke laut di lokasi Manggarai, dan Porong Bypass Channel yang mengalihkan debit banjir Kali Brantas untuk melindungi Kota Surabaya. Penjelasan saluran pengelak banjir dapat dilihat di Gambar 4.16 dan 4.17.
    g416
    Gambar 4.16 Saluran Pengelak Banjir Gambar
    g417
    4.17 Tipikal Saluran Pengelak Banjir
    (5) Waduk Retensi (Retention Basin)
    Seperti bendungan pengendali banjir di daerah hulu, waduk retensi juga berfungsi untuk menahan air banjir sementara, atau mengurangi debit banjir yang mengalir  ke daerah hilir sungai. Pengurangan debit banjir ini sangat bergantung pada kapasitas tampung waduk retensi tersebut.
    Terdapat 2 (dua) tipe waduk retensi berdasarkan lokasinya, yaitu:
    1. Di badan sungai (on stream) dengan membendung sungai dengan bandung yang relatif rendah dan pintu air pengendali;
    2. Di tepi kanan atau kiri sungai (off stream) yang memiliki dataran rendah sebagai waduk retensi, sehingga bila muka air tinggi, air akan mengalir dan ditampung sementara di waduk tersebut.
    Lebih lanjut gambaran dari kedua tipe tersebut, disajikan pada Gambar 4.18.
    g418
    Gambar 4.18 Konsep Waduk Retensi (Retention Basin)
    Lokasi waduk retensi kadang-kadang terdapat pada lokasi dataran rendah, seperti rawa-rawa atau daerah pertanian, sehingga dapat menimbulkan dampak yang serius bila daerah tersebut terdapat permukiman penduduk dengan sarana dan prasarananya.
    Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan kondisi-kondisi sebagai berikut:
    1. Pengendalian yang memadai yaitu meminimalkan bencana yang mungkin terjadi, dengan melarang adanya permukiman penduduk;
    2. Prakiraan banjir dan sistem peringatan dini yaitu dengan memberikan peringatan dan waktu yang cukup untuk evakuasi bila akan terjadi banjir;
    3. Pembuatan sistem drainase yang baik untuk mengalirkan air banjir dengan cepat dari daerah genangan.
    4.4 Mekanisme Perijinan
    4.4.1 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
    Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapat beberapa ketentuan penting menyangkut:
    1. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut;
    2. Penglepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah;
    3. Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat;
    4. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan, yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperolah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian;
    5. Ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanah dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat penglepasan atau penyerahan hak atas tanah.
    4.4.2 Ijin Bangunan
    (1) Ijin Mendirikan Bangunan
    a) Permohonan Ijin Bangunan (IMB)
    • Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum, yayasan, dan lain-lain, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasa yang sah.
    • Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yang disediakan di bagian pelayanan (IMB).
    • Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiri dengan :
      • Fotocopy KTP pemohon;
      • Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
      • Gambar Rencana Bangunan;
      • Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
      • Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
    • Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiri dengan:
      • Fotocopy KTP pemaohon;
      • Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
      • Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
      • Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas;
      • Ijin lokasi dan site plan;
      • Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir);
      • Memperhatikan substansi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi;
      • Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
    • Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah dinas teknik, sedangkan permohonan yang kurang lengkap dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.
    b) Putusan Permohonan Ijin Mendirikan Bangunan
    • Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan ijin dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterima lengkap, dan dapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;
    • Pemohon membayar retribusi yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
    • Ijin dapat diambil oleh pemohon dengan menunjukkan telah lunas membayar retribusi.
    c) Penolakan Ijin Mendirikan Bangunan
    • Penolakan ijin harus disertai dengan alasan-alasan mengenai penolakan tersebut;
    • Permohonan ijin ditolak apabila:
      • Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota;
      • Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasan kota.
    d) Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan
    Bupati/Walikota dapat mencabut ijin yang telah diberikan, apabila:
    • Pemegang ijin menjadi tidak berkepentingan lagi;
    • Dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah ijin diberikan, belum melakukan permulaan pekerjaan;
    • Pekerjaan telah dihentikan selama 3 (tiga) bulan dan ternyata tidak dilanjutkan;
    • Ijin yang telah diberikan ternyata berdasarkan data-data yang tidak benar;
    • Pelaksanaan pembangunan menyimpang dari rencana yang telah
    (2) Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin Layak Huni (ILH)
    a) Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin Layak Huni (ILH)
    • Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum, yayasan dan lain-lainnya, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasa yang sah.
    • Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yang disediakan di bagian pelayanan (IPB/ILH).
    • Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiri dengan :
      • Fotocopy KTP pemohon;
      • Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
      • Gambar Rencana Bangunan;
      • Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
      • Fotocopy IMP;
      • Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat
    • Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiri dengan:
      • Fotocopy KTP pemohon;
      • Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
      • Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
      • Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas;
      • Ijin lokasi dan site plan;
      • Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir);
      • Fotocopy IMB;
      • Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
    • Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah dinas teknik, sedangkan permohonan yang kurang lengkap dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.
    b) Putusan Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin Layak Huni
    • Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan IPB atau ILH dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterima lengkap, dan dapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;
    • Putusan IPB atau ILH dapat diambil oleh pemohon.
    c) Penolakan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin Layak Huni
    • Penolakan IPB atau ILH harus disertai dengan alasan-alasan mengenai penolakan tersebut;
    • Permohonan IPB atau ILH ditolak apabila:
    • Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota;
    • Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasan kota. Pada Gambar 4.19 disajikan skema prosedur ijin lokasi, sedangkan pada Gambar 4.20 ditampilkan diagram prosedur umum pengurusan IMB di Kabupaten/Kota.
    4.5 Kelembagaan dan Peran Masyarakat
    Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, dilaksanakan dengan tujuan untuk meminimalkan dampak bencana longsor. Dalam rangka mendukung hal tersebut perlu dilakukan upaya untuk memperkuat kelembagaan di masing-masing tingkat pemerintahan dalam lingkup kawasan, baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta mengoptimalkan peran serta masyarakat.
    4.5.1 Pemerintah
    Penguatan kelembagaan diwujudkan melalui pembentukan visi dan misi, serta tugas pokok, lengkap dengan rincian tugas dan tanggung jawab lembaga di dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, baik pada aspek pengawasan maupun penertiban.
    Mengingat dalam aspek penertiban harus melibatkan multi instansi yang ada, maka penguatan kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuan lembaga melakukan koordinasi (sinergi) dengan lembaga lain, baik intern maupun ekstern.Dalam kegiatan penertiban pemanfaatan ruang yang telah menyimpang dari rencana tata ruang, maka lembaga terkait yang berwenang harus melakukan operasi yang multikompleks secara terkoordinasi.
    Dalam aspek pengawasan, penguatan kelembagaan dilakukan melalui pemberian tugas dan tanggung jawab yang jelas, mulai dari monitoring, pemantauan, dan pembuatan laporan yang rutin, menerus, dan berkelanjutan.
    Oleh karena kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, di dalamnya termasuk untuk kawasan rawan bencana longsor, merupakan kegiatan rutin yang sangat penting untuk dilaksanakan, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu mengalokasikan dana rutin. Pemenuhan biaya dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya tidak menyalahi aturan manapun, bahkan merupakan penunjang terhadap kegiatan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
    Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji kembali tugas pokok fungsi (Tupoksi) lembaga pengelola penataan ruang, kemudian diangkat dan diperjelas tugasnya berkaitan dengan kondisi lapangan di wilayah masing-masing. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia selaku pelaksana pengendalian pemanfaatan ruang perlu terus ditingkatkan, mengingat permasalahan pemanfaatan ruang semakin kompleks dan sulit diatasi, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal.
    4.5.2 Peran Serta Masyarakat
    Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahung 1992 Tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat, seperti masyarakat hukum adat, masyarakat ulama, masyarakat intelektual.
    Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban, serta peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu perencanaan, membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, serta mentaati keputusan-keputusan dalam rangka penertiban pemanfaatan ruang.
    Hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, adalah terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut.
    (1) Hak Masyarakat dalam Penataan Ruang
    • Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
    • Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana tata ruang kawasan (RTRK), melalui pelaksanaan lokakarya dan sarasehan;
    • Menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
    • Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
    (2) Kewajiban Masyarakat dalam Penataan Ruang
    • Menjaga, memelihara dan meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan pada keikutsertaan masyarakat untuk lebih mematuhi dan mentaati segala ketentuan normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan mendorong terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik;
    • Berlaku tertib dalam keikutsertaannya pada proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
    (3) Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
    • Pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan perundang-undangan, agama, adat atau kebiasaan yang berlaku;
    • Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud strukturat dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan perdesaan;
    • Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
    • Konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya, untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;
    • Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
    • Pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang;
    • Kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan.
    (4) Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
    • Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang;
    • Bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatan pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang.
    (5) Prosedur Peran Serta Masyarakat untuk merealisasikan langkah- langkah Pemanfaatan Ruang
    • Peran serta masyarakat pada tingkat Kabupaten/Kota dapat berupa penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan kepada Bupati/Walikota selambat-lambatnya 30 (tiga Puluh) hari setelah disoialisasi dan diadaptasikan;
    • Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan secara tertulis, dan tembusannya disampaikan kepada Ketua DPRD, atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Kabupaten;
    • Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia;
    • Untuk menerima saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan dari masyarakat, informasi tentang penentuan arah pengembangan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas, dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat beserta Bupati, yang dibantu oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten/Kota dan instansi terkait;
    • Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agama maupun adat dan budaya setempat;
    • Apabila dengan mekanisme tersebut masih terjadi konflik antar stakeholder dalam memanfaatkan ruang, maka diuapayak cara-cara musyawarah untuk tujuan akhir kemaslahatan warga yang terkena dampak, tetapi dengan tidak meninggalkan manfaat yang lebih luas.
      Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir